Jumat, 11 Oktober 2013


APRESIASI PUISI INDONESIA



MAKALAH
APRESIASI PUISI INDONESIA
“Pendekatan Parafrastis, Emotif, dan Analitis dalam Mengapresiasi Sastra”

Logo UNM kecil.png

OLEH:
KELOMPOK 2
DAHLIAH SAING                           1151040070
ANDI MUHAMMAD AMAL         1151040087
KURNIAWAN                                 1151040075


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2013




PEMBAHASAN
Pendekatan dalam Apresiasi Sastra
         Pendekatan sebagai suatu prinsip atau landasan yang digunakan oleh seseorang sewaktu mengapresiasi dapat bermacam-macam yaitu:
A.    1. Pendekatan Parafrastis dalam  Mengapresiasi Sastra
Pendekatan Parafrastis ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa kata-kata dalam puisi pada umumnya padat dan sering mengalami elipsis/penghilangan. Waluyo dalam buku Apresiasi Puisi (2002:1) menyatakan bahwa puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias. Untuk itu memahami sebuah puisi yang cenderung mengalami elipsis dan pemadatan makna ini bisa dilakukan dengan menguraikan kembali puisi atau kata-kata tersebut dengna model kalimat yang berbeda. Memparafrase sebuah puisi bisa diartikan memprosakan sebuah puisi atau mengubah bentuk puisi menjadi prosa dengan tetap mempertahankan sudut pandang dan kondisi makna tersurat dan tersirat dalam puisi tersebut.
Menurut Aminuddin (2010:41), Pendekatan Parafrasis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam satuan cita sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari penggunaan parafrasis itu adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang, sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.
Prinsip dasar dari penerapan Pendekatann Parafratis pada hakikatnya berangkat dari pemikiran bahwa (1) gagasan yang sama dapat disampaikan lewat bentuk yang berbeda, (2) symbol-simbol yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti dengan lambang atau bentuk lain yang tidak mengandung makna, (3) kalimat-kalimat atau baris dalam suatu cipta satra yang mengalami pelepasan dapat dikembalikan lagi kepada bentuk dasarnya, (4) pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu sendiri, (5) pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu sendiri.
Bagaimanakah sebenarnya memparafrase sebuah puisi? Sebenarnya bukan hal yang sangat sulit untuk membuat parafrase dari sebuah puisi. Membuat sebuah parafrase puisi pada dasarnya merupakan kegiatan mengembangkan atau memunculkan kembali bagian-bagian dari puisi tersebut yang sebenarnya sengaja dihilangan oleh seorang penulis.  Biasanya kebanyakan puisi hanya terdiri atas penggunaan yang sangat minim. Bahkan biasanya untuk tidak mengikuti aturan-aturan kebahasaan demi kepentingan rima, tipografi, dan kedalaman makna. Kerja para peneliti atau apresiator adalah berusaha mengembalikan bagian-bagian lain yang hilang agar didapatkan sebuah pemahaman yang utuh terhadap makna puisi tersebut.
           
B.   2. Pendekatan Emotif dalam  Mengapresiasi Sastra
Pendekatan emotif dalam mengapresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha yang menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi itu dapat berhubungan dengan keindahan penyajiaan bentuk maupun ajukan emosi itu dapat berhubungan dengan isi atau gagasan yang lucu dan menarik.
Prinsip-prinsip dasar yang melatarbelakangi adanya pendekatan emotif ini adalah pandangan bahwa cipta sastra merupakan bagian bagian dari karya seni yang hadir dihadapan masyarakat pembaca untuk dinikmati sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenangan. Dan dengan menerapakan pendekatan emotif ini pembaca akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan tentang adakah unsur-unsur keindahan cipta sastra yang akan baca ini? Bagaimana cara pengarang menampilkan keindahan itu? Dan bagaimana wujud keindahan itu sendiri setelah digambarakan pengarangnya. Bagaimana cara menemukan keindahan itu? Serta berapa banyak keindahan itu dapat ditemukan?
Selain  berhubungan dengan masalah  keindahan yang lebih lanjut akan berhubungan dengan masalah gaya bahasa seperti metafor, smile, maupun penataan setting yang mampu menghasilakan panorama yang menarik. Penikmatan keindahan itu juga dapat berhubungan dengan penyampaian cerita, peristiwa, maupun gagasan tertentu yang lucu dan menarik sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenagan oleh pembaca.

C.    3. Pendekatan Analitis dalam  Mengapresiasi Sastra
Menurut Aminuddin (2010:44), Pendekatan Analitis adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen instrinsik itu, sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka  membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.
Penerapan Pendekatan Analitis itu pada dasarnya akan menolong pembaca dalam upaya mengenal unsur-unsur intrinsik sastra yang secara aktual telah berada dalam suatu cipta sastra dan bukan dalam rumusan-rumusan atau definisi seperti yang terdapat dalam kajian teori sastra. Selain  itu, pembaca juga dapat memahami bagaimana fungsi setiap elemen cipta sastra dalam rangka membangun keseluruhannya.
Tujuan dari pendekatan ini yaitu menyusun sintesis lewat analisis. Lewat penerapan pendekatan ini diharapkan pembaca pada umumnya menyadari bahwa cipta sastra itu pada dasarnya diwujudkan lewat kegiatan yang serius dan terencana, sehingga tertanamkanlah rasa penghargaan atau sikap yang baik terhadap karya sastra. Selain itu, pendekatan ini akan membantu pembaca dalam upaya mengenal unsur-unsur intrinsik sastra yang secara aktual telah berada di dalam suatu cipta sastra. Unsur intrinsik yang dapat dikaji di dalam puisi terdiri dari tema, amanat, nada, perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima, gaya bahasa, dan citraan.

D. 4. Penerapan Pendekatan Parafrastis dalam penggalan puisi berjudul Sajak Putih karya Chairil Anwar, dan Pendekatan Analitis pada puisi berjudul Prologue karya Sapardi Djoko Damono.

1.      Contoh analisis pendekatan parafrasis pada penggalan puisi Sajak Putih karya Chairil Anwar sebagai berikut:
Dengan memparafrase sebuah puisi, dimungkinkan akan mampu mempermudah pemahaman terhadap aspek makna dan pesan dari isi puisi tersebut. Parafrastis bisa dilakukan  dengan dua macam teknik, yaitu melengkapi bagian-bagian yang terelipsis dari puisi tersebut baik yang berupa ejaan maupun kata/frase, dan menulis kembali dengan kalimat lain maksud dari baris-baris puisi tersebut.
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutera senja
Penggalan puisi di atas dapat diparafrase dengan cara melengkapi bagian kalimat yang dielipsiskan menjadi:
Bersandar pada tari-an yang ber-warna pelangi
Kau di depanku bertudung dengan kain sutera pada waktu senja
Atau bisa pula dilakukan dengan cara mencoba memahami secara keseluruhan teks puisi tersebut kemudian menyampaikannya kembali dalam bentuk kalimat yang lain. Untuk teks di atas dapat diuraikan menjadi:  
Ketika aku berada di bayang-bayang keindahan seperti keindahan para penari dan pelangi, saat itulah kau ada di depanku, berdiri memperlihatkan kecantikanmu di bawah bayang-bayang senja.
Terlepas dari bagaimana memparafrase sebuah puisi, tidak bisa dipungkiri bahwa puisi merupakan bagian dari karya seni yang mengemban fungsi, misi, dan visi tersendiri. Karya puisi tentu harus memiliki kandungan makna yang relevan dengan pesan yang hendak disampaikan oleh penyair kepada pembaca. Makna yang terkandung dalam sebuah puisi bisa bersifat tersurat (eksplisit) dan tersirat (implisit). Makna tersirat dalam sebuah puisi ditunjukkan dalam makna denotatif/makna lugas, yaitu makna apa adanya yang melekat dan tampak nyata dalam sebuah kata. Makna denotatif merupakan dasar dengan pemahaman secara awam bisa dimengerti dengan mudah. Sebagai contoh dalam puisi berjudul Malam Lebaran karya Sitor Situmorang sebagi berikut:
Malam Lebaran
Bulan di atas kuburan
Secara awam makna yang tampak dalam puisi tersebut adalah pada malam lebaran bulan bersinar di atas kuburan. Titik. Hanya sebatas itu, tidak perlu dipikirkan berbagai macam hal yang rumit di balik itu, sedangkan makna tersirat ditunjukkan dalam bentuk makna konotatif/makna kias, yaitu kandungan lain dari maksud yang tampak seacara awam. Secara tersirat /malam lebaran, bulan di atas kuburan/ bisa dinterpretasikan sebagaimana kesan/efek psikologis dari eufoni dan kakafoni yang dihasilkannya, misalkan:
Malam            : gelap, menakutkan
Lebaran          : kemenangan, menyenangkan
Bulan : keindahan
Kuburan         : kelam, seram, mistis
Berdasarkan gambaran di atas Malam Lebaran, Bulan Di atas Kuburan bisa diinterpretasikan tentang akan adanya jalan terang atau petunjuk untuk menyinari kita yang berupa kemenangan dan keindahan dari kekelaman yang selama ini kita alami. Bisa saja terjadi interpretasi sebaliknya, yaitu ketika kita berada pada titik atau derajat tertinggi dari yang bisa kita raih, justru pada saat itulah kita akan mengalami keterpurukan atau kehancuran.
Sementara itu kesan atau amanat yang disampaikan oleh penyair secara utuh justru terletak pada bagian yang bersifat implisit tersebut. Untuk itulah, demi ketercapaian penyampaian pesan moral atau amanat sebuah puisi, pemahaman terhadap cacophony dan euphony merupakan faktor mutlak dalam proses kreatif cipta sastra.
Selanjutnya ketika kita berbicara tentang makna, hal yang ada di depan gambaran kita adalah bagaimana kita memilih kata (diksi) yang mempunyai kandungan-kandungan makna tertentu atau cara kita memilih kata agar frase atau klausa yang dilekatinya menjadi bermakna sebagaimana yang kita harapkan. Memilih kata dalam proses kreatif cipta karya puisi memang bukan merupakan pekerjaan mudah. Dalam proses ini diperlukan kemampuan berbahasa, wawasan yang luas, serta kedalaman rasa sehingga dimungkinkan akan dihasilkan diksi yang tepat.
Dalam kehidupan sehari-hari pilihan kata yang dipergunakan oleh seseorang benar-benar dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Bisa kita bandingkan pemakaian kata-kata di lingkungan militer dengan lingkungan pendidikan, atau lingkungan pekerja proyek dengan lingkungan pondok pesantren. Terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara lingkungan pemakai bahasa tersebut. Bahkan dari kata-kata yang dipergunakan oleh seorang penutur bahasa, dapat diprediksikan asal lingkungan tempat tinggalnya.
Dengan mengetahui bagaimana kondisi dasar yang terdapat dalam sebuah karya puisi yang berhubungan dengan rima, cacophony dan euphony, maupun segala unsur moralnya akan mempermudah  proses  memparafrase sebuah puisi.

2.      Contoh analisis pendekatan emotif pada penggalan puisi Roestam Effendi dalam percikan perenungan sebagai berikut:
Penikmatan itu lebih ;lanjut juga dengan berhubungan masalah pola persajakan dan paduan bunyi yang lebih lanjut dan dapat mengahadiri unsur-unsur musikalitas yang merdu dan menarik. Hal yang demikian dijumpai terutama pada karya-karya puisi karena pada abad ke-18 sampai ke-19 ada kecenderungan untuk menciptakan sair atau karya fiksi seperti halnya alunan musik, misalnya sebuah puisi berbahasa Jerman dari penyair Tieck berbunyi: liebe denk in suzen Tonen atau Dennn gedanken steh’n zu fern. Penyajian keindahan dalam puisi dalam keindahan dalam puisi, selain lewat permainan bunyi sehingga dikenal adanya penyair yang auditif, dapat juga disajikan secara visual. Salah satu bait puisi  Roestam Effendi dalam percikan perenungan, misalnya, berbunyi:
                  Di tengah sunyi  menderu  rinduku
                  Seperti topan. Merenggutkan dahan
Mencabutkan akar,
Meranggutkan kembang kalbuku
 Untuk menemukan dan menikmati cipta satra yang mengandung kelucuan, anda tentunya juga harus memilih cipta satra yang termasuk dalam ragam-ragam tertentu. Ragam itu misalnya ragam humor, satirik, sarkasme, maupun ragam komedi.

3.      Contoh analisis pendekatan analitis pada penggalan puisi Prologue karya Sapardi Djoko Darmono sebagai berikut:
Dalam pelaksanaannya kegiatan analisis itu tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu cipta sastra. Dalam hal ini pembaca dapat membatasi diri pada analisis unsur intrinsik. Misalnya, dengan menganalisis citraan dan gaya bahasa seperti pada contoh puisi Prologue karya Sapardi Djoko Darmono.
PROLOGUE
Karya Sapardi Djoko Damono

Masih terdengar sampai di sini
dukaMu abadi. Malampun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar

kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis mencecap beribu kata, di sini
di rongga-rongga yang mengecil ini
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:
sepi manusia, jelaga.

1.      Citraan
    Dalam puisi tersebut Sapardi menggunakan jenis imaji citra auditif yang dapat dibuktikan dengan adanya kata terdengar, yang berarti melibatkan indera pendengaran pada baris pertama yang berbunyi Masih terdengar sampai disini. Baris kempat pada bait pertama juga membuktikna bahwa penyair menggunakan imaji visual yang berbunyi  di luar langit yang membayang samar. Hal ini berarti penyair mengetahui di luar sana langit membayang samar karena adanya penglihatan. Bait kedua pada baris kelima, ketujuh yaitu kata kusapa dan terbaca. Hal itu juga menunjukkan adanya indera penglihatan yang dilakukan penyair pada waktu itu. Penyair bisa menyapa dan membaca karena melihat.

Selain itu, Sapardi juga menggunakan jenis imaji citra pencecapan yang dapat dibuktikan dengan adanya kata mencecap, yang berarti penyair juga melibatkan indera pengecapan dalam puisinya pada baris ke tujuh yang berbunyi  sehabis mencecap beribu kata, di sini. Hal ini membuktian bahwa seseorang yang digambarkan dalam puisi tersebut ikut mengucap beribu kata duka yang telah dialami seseorang. Beribu kata maksudnya doa-doa untuk orang yang meninggal.
Secara umum dalam puisi PROLOGUE, penyair menggunakan imaji perasaan yang melibatkan pendengaran, penglihatan dan pencecapan. Penyair mengungkapkan perasaan sedih, duka melalui pendengaran, penglihatan dan perasaan. Sapardi sangat piawai dalam menggunakan kata-kata, untuk mengungkapkan perasaannya tersebut, penyair memilih dan menggunakan kata-kata tertentu untuk menggambar dan mewakili perasaannya itu. Pada setiap baris dalam puisi tersebut, penyair mampu menarik pembaca ikut larut dalam perasaan penyair. Pada bait yang pertama penyair menghadirkan suasana duka, sehingga pembaca seakan-akan juga ikut merasakan suatu hal yang dirasakan penyair.

2.      Gaya Bahasa
  Dalam puisi ini, penyair menggunakan majas personifikasi yang terlihat pada baris pertama, dan kedua. Baris pertama Masih terdengar sampai di sini dukaMu abadi. Hal itu menunjukkan bahwa kata dukaMu seolah-olah hidup dan dapat mengeluarkan suara, sehingga dapat didengar. Begitu pula dengan baris kedua Malampun sesaat terhenti sewaktu dingin pun terdiam, kata malam dan dingin seolah-olah sesuatu yang hidup, padahal kata malam merupakan keterangan, dan dingin adalah kata sifat. Selain itu, ditemukan lagi majas personifikasi pada:
kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis mencecap beribu kata

         Pada kata yang bercetak miring dalam syair tersebut menunjukkan bahwa kata setia merupakan kata sifat yang hanya bisa dirasakan, sedangkan dalam puisi tersebut dieja. Dieja maksudnya dihitung semua orang yang datang dalam proses pemakaman orang Kristen untuk mengucap doa-doa tertentu.
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf

         Pada kata kusapa dukaMu, menunjukkan majas personifikasi karena duka itu merupakan suatu hal yang dirasakan, sehingga tidak bisa disapa. Pada kata meniupkan zarah, juga terlihat bahwa kata duka seolah-olah hidup dan dapat meniupkan zarah, padahal duka merupakan suatu perasaan yang tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan.






PENUTUP
   A. Simpulan
Penerapan Pendekatan Parafrastis selain untuk mempermudah upaya pemahaman makna suatu bacaan, juga digunakan untuk mempertajam, memperluas dan melengkapi pemahaman makna yang diperoleh pembaca itu sendiri. Pendekatan emotif berhubungan dengan masalah  keindahan dan masalah gaya bahasa seperti metafor, smile, maupun penataan setting yang mampu menghasilakan panorama yang menarik. Dalam pelaksanaannya Pendekatan Analistis itu tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu cipta sastra.

  B. Saran
Pada makalah ini, masih banyak unsur intrinsik dalam puisi yang merupakan bagian dari Pendekatan Analitis. Misalnya, tema, diksi, enjabemen, nada, dan amanat yang belum dianalisis. Selain itu, terbatasnya materi dalam makalah ini, sehingga diharapkan ada pemakalah lain yang membahas Pendekatan Parafrastis dan Analitis ini secara mendalam.





DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Waluyo, Herman J. 2002. Apresiasi Puisi. Jakarta; Gramedia.